1. Perkembangana Bahan Pewarna Alami
Teknologi
penggunaan zat pewarna buatan yang "canggih" dan "jitu" dibandingkan
dengan teknologi zat pewarna alam nenek moyang kita dahulu, ternyata
tidak kalah "canggih" dan "jitu" karena zat pewarna alami menghasilkan
produk non karsinogen, ramah lingkungan yang menjadi bahan pertimbangan
untuk mencari celah-celah mengatasi krisis moneter yang berkepanjangan
(Patmasari, 1999). Pewarna alam mulai bergeser penggunaannya sejak tahun
1800-an, yaitu setelah ditemukannya cara sintesa pewarna secara
kimiawi, seperti sintesa indigo pada tahun 1897. Keunggulan
dari pewarna sintetis adalah harganya lebih murah karena dapat
diproduksi secara masal dan memiliki sifat lebih tahan luntur.
Berkembangnya produksi indigo sintetis menyebabkan penggunaan indigo alam oleh industri tekstil menurun. Tahun
1914 konsumsi indigo alam di dunia hanya 4 %,bahkan dalam industri
makanan sekarang ini 90% pewarna yang digunakan adalah pewarna sintetis.
Dewasa
ini tuntutan pasar pada pewarna yang digunakan dalam industri
makanan,minuman, kosmetika, tekstil dan kerajinan sangatlah terkait
dengan keamanan konsumen dan keramahan lingkungan. Pewarna
yang diedarkan harus diuji dulu tingkat keamanannya oleh FAO/WHO Codex
Alimentarius Commision dan Joint FAO/WHO Expert Committee on Food
Additives (JECFA).
Faktor-faktor
yang menjadi penilaian bahan pewarna baik ialah penetapan spesifikasi
yang jelas, melakukan studi-studi biologis seperti acute toxicity studies, short and long term feeding studies, metabolic studies dan upaya mengetahui kemungkinan pengaruh mutagenic dan reaksi hipersensitifitas.
Pasar internasional saat ini cenderung membangkitkan kembali penggunaan
warna-warna alam, hal ini karena pewarna alam umumnya biodegradable dan proses produksinya ramah lingkungan dan sesuai dengan tuntutan masyarakat, terutama dari negara-negara maju, yang lebih menghendaki produk-produk yang aman dan ramah lingkungan.
warna-warna alam, hal ini karena pewarna alam umumnya biodegradable dan proses produksinya ramah lingkungan dan sesuai dengan tuntutan masyarakat, terutama dari negara-negara maju, yang lebih menghendaki produk-produk yang aman dan ramah lingkungan.
Indonesia
memiliki kekayaan alam yang tinggi, dengan kekayaan tersebut sangatlah
memungkinkan bagi bangsa Indonesia untuk memberdayakan kembali potensi
warna-warna alam yang lebih diarahkan bagi pewarnaan barang-barang
kerajinan, tekstil (terutama batik), makanan-minuman, dan produk yang
mempunyai kontak yang sangat dekat dengan manusia, dengan prospek
pemasaran ekspor sehingga dapat meningkatkan taraf hidup rakyat.
Untuk
membangkitkan kembali minat penggunaan warna alam tidaklah semudah
membalik telapak tangan, banyak permasalahan yang harus diatasi,
permasalahan-permasalahan yang ada antara lain: zat warna alam sulit
untuk dapat diproduksi dalam skala industri, warnanya terbatas,
intensitas warna tidak stabil dan tidak mudah diproduksi kembali,
ketahanan lunturnya kurang baik sehingga perlu proses penyempurnaan,
pada proses pencelupan untuk tekstil dan produk tekstil masih memerlukan
zat pembangkit untuk memberikan warna tertentu dan proses pencelupan
harus dilakukan berulang-ulang (tidak efisien), dan sumber daya alam
sebagai bahan baku zat warna tersebut belum dibudidayakan secara serius,
sehingga kadang-kadang masih berebut dengan kebutuhan yang lain
(misal:makanan, obat-obatan dan lain-lain).
Untuk
mengatasi permasalahan tersebut diatas saat ini sangat sulit karena
biaya untuk mengisolasi zat warna alam murni dibutuhkan biaya sangat
mahal, langkah-langkah yang harus dilalui masih cukup panjang, dan
teknologi yang dipaergunakan cukup canggih sehingga masih sulit untuk
diterapkan pada industri kecil, sedang kebutuhan zat warna alam sangat
mendesak.
Langkah-langkah
yang dapat ditempuh dalam usaha mengatasi masalah-masalah tersebut
adalah sebagai berikut: litbang aplikasi praktis penggunaan sumber daya
alam tubuh-tumbuhan untuk pewarnaan berbagai jenis produk (makanan,
kulit, tekstil dan lain-lain), puderisasi pewarna alam, pembuatan alat
puderisasi serta isolai zat warna alam dari sumber daya alam
tumbuh-tumbuhan, pengkajian pemakaian puder (serbuk) pewarna alam yang
dihasilkan, perbaikan cara puderisasi secara terus menerus, perlu upaya
yang lebih sistematis dalam rangka mengembangkan potensi pewarna alam,
mulai pendataan, ekstraksi dan isolasi sampai pemasyarakatan hasil
litbang, perlu koordinasi semua pihak yang terkait didalam negeri dan
luar negeri, perlu studi mengenai permintaan terhadap zat warna alam di
dalam negeri dan luar negeri, dilakukan budidaya tanaman penghasil zat
warna secara agroforestry, dan adanya sentuhan bioteknologi (kultur
jaringan) dalam rangka penyediaan bibit unggul dalam jumlah besar
(Patmasari, 1999).
2. Indigofera sebagai Bahan Pewarna Alami
2. Indigofera sebagai Bahan Pewarna Alami
A. Asal usul dan penyebaran geografis
Marga Indigofera (tanaman
nila) yang besar (kira-kira 700 jenis) tersebar di seluruh wilayah
tropika dan subtropika di Asia, Afrika dan Amerika sebagian besar
jenisnya tumbuh di Afrika dan Himalaya bagian selatan. Kira-kira 40
jenis asli Asia Tengara, dan banyak jenis lainnya telah diintroduksikan
ke wilayah ini. Banyak jenisnya yang telah dibudidayakan di seluruh
wilayah tropika. Indigofera arrecta adalah tumbuhan asli Afrika
Timur dan Afrika bagian selatan, serta telah diintroduksikan ke Laos,
Vietnam, Filipina (Luzon), dan Indonesia (Sumatera, Jawa, Sumba,
Flores). Kedua anak jenis dariIndigofera suffruticosa berasal dari Amerika tropika, dan di daerah-daerah tertentu di Jawa dibudidayakan. Indigofera tinctoria mungkin berasal dari Asia, tetapi kini tersebar di seluruh wilayah pantropik.
Di Nusantara bahan indigo disamping dari tanaman Marsdenia tinctoria R.
BR, dari suku Asclepiadaceae, hanya dihasilkan dari daun berasal dari
beberapa jenis tanaman yang masuk marga indigofera. Mengenai pengolahan
dan budidaya indigo kering yang terutama digunakan untuk pasaran Eropa, sedang mengenai Indigo basah yang terutama digunakan dari dua jenis bahan tersebut tidak begitu banyak harapan.
B. Manfaat dan kegunaan
Indigofera
dimanfaatkan secara luas sebagai sumber pewarna biru, tarum, di seluruh
wilayah tropika. Jenis-jenis ini juga dianjurkan untuk ditanam sebagai
tanaman penutup tanah dan sebagai pupuk hijau, khususnya di
perkebunan-perkebunan teh, kopi, karet. Daun Indigofera arrecta dan Indigofera tinctoria digunakan dalam pengobatan tradisional untuk menyembuhkan penyakit ayan dan gangguan syaraf, juga untuk luka dan borok.
C. Kandungan kimia
Daun
Indigofera arrecta mengandung : N 4,46 %; P2O5 0,02 %; K2O 1,95 %; CaO
4,48 % dan Indigofera tinctoria : N 5,11 %;, P2O5 0.78 %; K2O 1,67 %;
CaO 5,35 % ( menurut bobot keringnya)
D. Sifat Kimia
Tanaman Indigofera mengandung
glukosida indikan. Setelah tanaman ini direndam di dalam air, proses
hidrolisis oleh enzim akan mengubah indikan menjadi indisil
(tarum-putih) dan glukosa. Indoksil dapat di oksidasi menjadi tarum –
biru. Banyak jenisnya yang mengandung senyawa –senyawa organik nitro
yang beracun. Walaupun demikian, disebutkan bahwa Indigofera tinctoria dapat dimakan ternak.
E. Sistematika
1). Botani
Klasifikasi
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Rosales
Suku : Leguminosae
Marga : Indigofera
Jenis : Indigofera arrecta L.
Jenis-jenis utama dan sinonim:
- Indigofera
arrecta Hochst.ex A. Ric, Tent, F1 Abys, 1; 184 (1847); Indigofera
suffruticosa Miller ssp. Suffruticosa, Gard. Diet, ed .8, No. 2 (1768),
sinonim : I. Anil L (1771);
- Indigofera
suffruticosa Miller ssp. Guatemalensis (Mocino, Sesse & Cerv, ex
Backer) de Kort & Thijase, Blumea 30 : 135 (1984), sinonim
Indigofera guatemalensis Mocino, Sesse & Cerv.ex Backer (1908);
- Indigofera tinctoria L. Sp.pl.2 : 751 (1753), sinonim : Indigofera Sumatrana Gaertner (1971)
Nama umum dagang Nila
Nama
daerah umum (Inggris) : indigo, Indonesia : tom, tarum. Malaysia :
tarom Filipina : anil. Thaliland : kharam. Vietnam : cham.
- I. Arrecta Inggris : Natal –indigo, Bengal-indigo, Java-indigo, Indonesia : tom atal, tom tatemas (Jawa).
- I.
Suffruticosa ssp. Suffrucosa : Indonesia : taem –taem, tagom-tagom,
toma cantik. Filipina : tina-tinaan(Tagalog), tayum (Bisaya, Ilokano).
Thailand : khraam-thuean (Shan- Chiang Mai), khraam yai (Ubon
Rachathani)
- I. Suffrucosa ssp. Guatemalensis. Inggris : Guatemala indigo. Indonesia : tom presi.
- I.
Tinctoria Inggris : common indigo, Indian indigo. Indonesia : tom jawa,
tarum alus, tom kayu. Malaysia : nila, tarum. Filipina : tagung-tagung
(Bisaya), taiom (Ilokano), taiung (pampango). Kamuchea : trom. Laos
khaam. Thailand : khraam (umum), na-kho (Karen, Mae Hong Son). Vietnam :
cham, cham Nhuom.
2). Deskripsi
Marga indigofera Mencakup perdu Habitus Perdu kecil, dan terna.
- Batang:
Berkayu di bagian pangkal batangnya, dengan percabangan yang tegak atau
memancar, tertutup indumentum yang berupa bulu-bulu bercabang dua. Daun
Daun: berseling, biasanya bersirip ganjil, kadang-kadang beranak daun
tiga atau tunggal.
- Bunga
: Bunga-bunganya tersusun dalam suatu tandan di ketiak daun,
bertangkai; daun kelopaknya berbentuk genta bergerigi lima; daun
mahkotanya berbentuk kupu-kupu.
- Buah
: Umumnya bertipe polong , berbentuk pita (pada beberapa jenis hampir
bulat), lurus atau bengkok, berisi 1 - 20 biji yang kebanyakan bulat
sampai jorong. Semainya dengan perkecambahan epigeal, keping bijinya tebal, cepat rontok.
- Akar : Tunggang.
Jenis Indigofera adalah :
- Indigofera
arrecta : Berawakan perdu besar, tingginya mencapai 3 m, sering
dibudidayakan sebagai tanaman setahun, dengan bunga panjangnya kira-kira
5 mm dan polongnya 2-2,5 cm, berisi 6-8 biji.
- Indigofera
suffruticosa : berperawakan perdu, tingginya sampai 2,5 m, ssp dengan
bunga panjang 5 mm dan polongnya yang bengkok berisi 6-8 biji.
- Indigofera
suffruticosa : memiliki ukuran bunga yang lebih kecil (3 mm) dan ssp
guatemalensis polong yang lurus, berisi 1-3 biji.
- Indigofera
tinctoria : berperawakan perdu kecil (sampai 1 m tingginya) dengan
bunga yang panjangnya 5 mm, polongnya lurus atau sedikit bengkok, berisi
7-12 biji.
F. Teknik Budidaya Tanaman
1). Persyaratan tumbuh
Jenis-jenis
Indigofera dapat tumbuh dari 0 meter sampai 1.650 m diatas permukaan
laut, dan tumbuh subur di tanah gembur yang kaya akan bahan organik.
Sebagai tanaman penghasil pewarna, indigofera ditanam di dataran tinggi
dan sebagai tanaman sekunder ditanah sawah. Lahan sebaiknya berdainase
cukup baik.
Jika
digunakan sebagai tanaman penutup tanah, Indigofera arrecta hanya dapat
ditanam di kebun dengan sedikit naungan atau tanpa naungan. Jenis ini
menyenangi iklim yang panas dan lembab dengan curah hujan tidak kurang
dari 1.750 mm/tahun. Tanaman ini mampu bertahan terhadap pengenangan
selama 2 bulan.
Indigofera
tinctoria tidak toleransi terhadap curah hujan tinggi dan penggenangan.
Dalam keadaan tumbuh secara alami atau miliar, jenis-jenis tarum
dijumpai di tempat-tempat terbuka dengan sinar matahari penuh, misalnya
lahan-lahan telantar, pinggir jalan, pinggir sungai, dan padang rumput,
kadang-kadang sampai ketinggian 2.000 meter diatas permukaan laut.
Pada
umumnya penduduk asli menam indigo pada umumnya di tanah tegalan,
maupun di sawah, disawah diusahakan sebagai tanaman palawija setelah
panen padi.
2). Perbanyakan tanaman
Perkembangan biakan tanaman indigofera adalah dengan biji, kecuali Indigofera suffruticosa yang
dapt dibiakkan dengan setek. Untuk mencegah kerusakan oleh serangga,
biji –biji dapat diberi perlakuan dengan abu dapur sebelum ditabur. Biji
Indigofera arrecta memiliki kulit yang keras dan perlu dikikir.
Juga
dapat diperbanyak dengan stek indigo yang digunakan adalah
cabang-cabang yang paling baik pertumbuhannya, terutama pada lahan yang
sudah menghasilkan/produksi. Pemotongan perlu dilakukan dengan pisau
yang tajam dan untuk enghindari memar/sobek, maka pada waktu pemotongan
menjadi bahan tanaman/stek yang panjangnya + 30 cm.
Bahan
yang akan dipotong dengan tangan , stek –stek tersebut tidak segera
ditanam tetapi diikat dibiarkan selama 1 sampai 3 hari tempat yang
teduh/dingin dengan ujung stek diletakkan diatas. Setelah permukaan
pepotongan kering barulah stek dapat ditanam di lapangan.
3). Penamanan
Setelah
lahan/tegalan satu atau beberapa kali dibajak atau dicangkuli, maka
ditanam stek indigo dengan jarak antara 60 cm dan dalam barisan 60 -90
cm, untuk lain-lain indigo 45 – 60 cm.Untuk mengalirkan air hujan pada
tiap jarak 360 cm dibuat saluran drainase untuk pembuangan air. Jika
penanaman dengan biji maka dapat langsung ditanam di lapangan, tiap
lubang diisi 3 atau 4 butir biji, cara lain membuat pesemaian lebih
dahulu. Perkecambahan di pesemaian memakan waktu 4 hari. Jika digunakan
pesemaian , bibit dapat dipindahkan ke pertanaman pada umur 4 – 6
minggu.
Sedangkan
penanaman di lapangan dengan stek sebanyak 2 – 3 stek per lubang.
Setelah 2 minggu kemudian mulai tampak tuna-tunas yang keluar dari stek.
4). Pemeliharaan
Setelah
tanaman berumur 1 bulan dan kelihatan hijau segar maka dapat dilakukan
penyulaman dan penyiangan, pada waktu yang sama barisan-barisan
dibumbun. Satu bulan kemudian dilakukan penyiangan ke 2 kali dan tanah
pada waktu tersebut dibuat gembur serta barisan dibumbunlagi sehingga
terjadi guludan yang lebih tinggi. Pada akhir umur 4 bulan atau
permulaan 5 bulan setelah terjadi tanaman menutup tanah, saatnya untuk
dipotong. Pada umumnya, waktu ini jatuh bersamaan dengan pembungaan yang
banyak. Sebagai tanaman penutup tanah batangnya dipotong pada jangka
waktu yang teratur.
5). Pemberantasan hama dan penyakit:
Indigofera arrecta dapat diserang oleh Bacillus solanaceaarum. Di JawaIndigofera tinctoria tidak
rentan terhadap hama dan penyakit, tetapi setelah terjadi lignifikasi
di wilayah yang lembab, jenis ini dapat terserang berbagai jenis jamur
dan serangga, oleh nematoda Heterodera glycines.
6). Panen
Kalau
daun indigofera yang warnanya sudah warna hijau tua merata mulai layu
dan mulai menguning maka hasil indigofera menjadi kurang. Cara
menentukan waktu panen memang sulit. Berdasarkan para pengusaha /petani
yang berpengalaman menentukan waktu panen berdasarka >warna daun dan
pada bau daun kalau diremas – remas dengan jari. Cabang-cabang pohon
dipanen, biasanya pada pagi hari, ketika tanaman berumur 4-5 bulan dan
telah membentuk tegakan yang rapat.
Saat
itu biasanya merupakan stadium berbunga. Kira-kira 3-4 bulan kemudian
tanaman dapat dipotong lagi.; tanaman tarum dapat dipanen 3 kali dalam
setahun. Masa hidup tanaman sebagai penghasil pewarna adalah 2-3 tahun,
dan sebagai penutup tanah 1,5-2 tahun. Tarum hanya dapat dipanen sekali
jika ditanam disawah, sebab tanaman ini harus memberi ruang pada tanaman
padi berikutnya.
7). Penanganan pasca panen
Cabang-cabang
yang telah di panen disimpan dalam tangki berisi air, yang telah diberi
beberapa butir kapur dan diberati dengan papan agar tenggelam. Setelah
terjadi fermentasi selama beberapa jam, yang selama itu hidrolisis
melalui enzim akan menyebabkan pembentukan indoksil, cairannya dibuang,
kemudian diaduk-aduk selama beberapa jam untuk mendorong oksidasi
indoksil.
Setelah
itu larutan dibiarkan, dan bagian tarum yang tidak dapat larut akan
mengendap ke dasar tangki berupa lumpur kebiru-biruan. Airnya dibuang,
dan setelah tarum mengering, dipotong-potongmenjadi balok-balok kecil
atau dibuat bulat-bulatan. Untuk mewarnai tektil, tarum direduksi menjadi bentuk yang dapat larut melalui proses frmentasi dalam lingkungan basa.
G. Pengelolaan Hasil
1). Cara pengolahan adalah sebagai berikut :
Cabang-cabang
kecil yang telah dipotong, pada pengolahan yang hati-hati telah
dipisahkan dari cabang yang berkayu, diletkkan dalam bejana kayu/tanah
atau dalam bak tembok. Pada tempat tersebut terdapat campuran kapur dan
air. Kumpulkan dan ditekan dengan papan yang ditidih dengan batu,
perlakuan ini dijalankan demikian rupa hingga atasnya terdapat 1 kaki
lapisan air. setelah beberapa jam gelembung-gelembung udara naik ke atas
prmukaan air kemudia akhirnya cairan tersebut mengalami peragian. Di
perusaaan orang Eropa setelah terjadi peragian maka ekstrak bahan
tersebut kemudian dialirkan karena fermentasi mempunyai pengaruh jelek
terhadap hasilakhirnya, pengaruh jelek ini mengenai jumlah dan mutu.
Lmbat laun kekuatan proses ini menurun dan permukaan air tertutup dengan
lapisan tipis, cairannya sendiri lambat laun berubah warnanya menjadi
hijau tua. Kalau airnya telah memberi bau manis dan warnanya tidak lagi
berubah maka cairannya dipindahkan ke bejana lain sedang daunnya
kadang-kadang digunakan untuk memelihara beberapa jenis jamur yang enak
dimakan. Cairan yang telah dipindhkan mengandung bahan uraian indoxyl
dibentuk karena pengaruh enzima yang ada dalam daun yang berasal dari
indicaan; karena oksidasi dari indoxyl terjadi indigoblauw yang tidak
larut. Pemberian oksigen dikerjakan dengan selalu membuat cairan
digerak-gerakkan, misalnya dengan menaik turunkan keranjang kecil yang
bertangkai panjang atau dengan mengisi dan mengosongkan gayung kecil.
Pekerjaan ini diteruskan sampai cairan tidak berbuih lagi, pada waktu
tersebut warna menjadi kecoklt-coklatan. dalam proses pengolah ini
diadakan waktu istirahat 12 jam dan juga selama 12 jam cairannya
digerak-gerakkan hingga cairan itu tidak lagi berbuih. Kemudian
bahan ini dibiarkan dan setelah 3 atau 4 jam, kadang-kadang lebih lama,
indigonya mulai mengendap. Cairan yang ada di bagian atas pada umumnya
dibuang, cairan ini berwarna kuning jerami dan baunya tidak enak;
kadang-kadang cairan ini diberi air kapur untuk mendapatkan indigo
(Departemen Pertanian, 2009).
2. Prospek Pasar Indigofera
A. Prospek pengembangan tanaman nila
Tarum pernah dinyatakan sebagai ’ raja pewarna ’.
Tidak ada tanaman pewarna lain yang terjalin sangat erat dengan
kebudayaan seperti halnya tanaman tarum. Warna biru tua dari pewarna ini
sangat disukai, dan sejarahnya menakjubkan serta berlangsung ribuan
tahun.Walaupun demikian, penggunaan tarum yang berasal dari tumbuhan
hampir habis dan hampir seluruhnya diambil alih oleh tarum sintetik
(Departemen Pertanian, 2009).
Dalam
tahun-tahun belakangan ini minat terhadap pewarna alami meningkat lagi
di berbagai negara, tidak hanya karena kepedulian terhadap pencemaran
lingkungan yang disebabkan yang disebabkan oleh industri-industri kimia
penghasil pewrana dan adanya pengaruh berbahaya dari pewarna sintetik
terhadap kesehatan, tetapi juga karena timbulnya kembalinya minat dalam
kaitan antara pewarna dan kebudayaan. Diharapkan agar minat baru ini
akan memperoleh landasan yang cukup cepat untuk melindungi tarum dari
kepunahannya secara total sebagai tanaman budidaya tanaman di Asia
Tenggara.
B. Produksi dan perdagangan dunia
Budidaya Indigofera secara
besar-besaran dimulai dalam abad -16 di India dan Asia Tenggara.
Kemudian, perkebunan –perkebunan besar juga dibangun di Amerika Tengah
dan Amerika Serikat bagian selatan. Ekspor tarum ke Eropa sangat penting
dan harus bersaing dengan pewarna dari ’woad’ (Isatis tinctoria L),
yang dibudidayakan terutama Perancis, Jerman dan Inggris. Produksi
tarum sintetik secara komersial yang dimulai digunakan pada tahun1897,
terbukti membahayakan produksi tarum alami, dan menjelang tahun 1914
hanya 4 % dari keseluruh produksi dunia berasal dari pewarna nabati.
Kini, tanaman tarum masih dibudidayakan untuk keperluan pewarna, tetapi
hanya dalam skalakecil, yaitu di India ( di bagian utara Karnataka) dan
di beberapa tempat di Afrika dan Amerika Tengah. Di Indonesia Indigofera
masih dibudidayakan di beberapa desa pantai utara dan di seluruh
wilayah Indonesia Timur, yang disana digunakan untuk mewarnai kain
tradisional dan kain untuk keperluan upacara adat.
Sebagai
bahan yang diusahakan di perkebunan besar terutama di Jakarta, daerah
Yogyakarta dan Solo pada tahun 1920 diolah 202.071 kg indigo kering dan
288 kg indigo basah dari luas 3.102 bau (1.035,3 ha); pada tahun 1921
diolah 201.981 kg indigo kering dan 41.616 kg indigo basah dari luas
tanah 3.793 bau (1.264 ha); pada tahun 1922 diolah 37.244 kg indigo
kering dan 50.400 kg indigo basah dari luas tanah 1.726 bau ( 575 ha);
pada tahun 1923 di perkebunan besar mendapatkan panen indigo 744 kg
dengan luas tanah 285 bau (95 ha) dan tahun 1924 panen indigo 655 kg
dengan luas tanah 285 bau (95 ha). Dapat dikemukakan bahwa persaingan
antara bahan pewarna alamiah dan bahan pewarna buatan dimenangkan oleh
indigo buatan tom werdi (Jawa). Bahan buatan ini telah demikian
umum dipakai di kalangan perusahaan batik hingga sewaktu pada tahun 1914
pengiriman dihentikan, terjadi penghambatan pekerjaan perusahaan batik.
Berdasarkan
surat dari 67 perusahaan batik yang menyatakan lebih senang menggunakan
bahan indigo buatan dan tidak tahu menahu tentang bahan indigo alamiah.
Sekiranya persediaan bahan indigo buatan cukup maka industri batik
berdasarkan pertimbangan ekonomi tidak akan menggunakan bahan indigo
buatan.
Zat
Pewarna berasal dari inidigo saat ini belum dijual secara komersial,
tetapi peminat zat pewarna olahannya cukup banyak. Tidak hanya pembeli
lokal, peminatnya juga ada yang dari luar neger, seperti Jepang dan
Korea.
Sayangnya
produksi indigo saat ini terbatas. penyebabnya adalah keterbatasan
sumber daya. Dengan demikian, sampai saat ini indigo belum mampu
memenuhi semua permintaa. Termasuk, permintaan pembeli dari Jepang dan
Korea.
zat pewarna dari daun indigo, contohnya pewarna yang diberi nama Gama Indigo Natural Dye dijual dengan harga Rp 700.000 per kg/ Dus, dengan harga jual sebesar ini, dalam sebula meraup omzet Rp 70 juta.
zat pewarna dari daun indigo, contohnya pewarna yang diberi nama Gama Indigo Natural Dye dijual dengan harga Rp 700.000 per kg/ Dus, dengan harga jual sebesar ini, dalam sebula meraup omzet Rp 70 juta.
Sumber:
[Departemen Pertanian]. 2009. Tanaman Nila
loading...
Loading...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus